Monday 22 February 2016

TIRAI DIBALIK KALBU

   Entah apa yang ada dibenakku saat itu, berkecimpung dalam pergaulan yang sebelumnya belum pernah aku temui. Suasana kelas yang hiruk pikuk seperti pasar, keegoisan individual yang memanas, dan ke-sok aktifan seorang peserta MOS yang sebenarnya kemampuannya biasa saja.
Tirai di Balik Kalbu

Mataku menerawang ke semua sudut kelas, pojok kelas yang dipenuhi sarang laba-laba, layaknya kelas yang tidak pernah dihuni, bangku reot, papan tulis kotor, dan eternit yang sebagian sudah pada bolong.
Saat itu pertengahan bulan juli, awal pertamaku masuk SMA. Suara kakak kelas terdengar berebut untuk meredamkan suasana yang mulai tidak jelas tujuannya. Mata dan pikiranku masih menerawang jauh ke tempat-tempat yang sangat asing bagiku. “Hei, ti SMP mana?” Tiba-tiba seseorang membuyarkan kefokusanku mengamati ruangan yang kini aku tempati. 
“Ha…?” Kataku kaget, sekaligus tak memamahami apa yang ia katakan, “Maksudnya …?” kataku lagi. “Dari SMP mana?” Katanya mengulang pertanyaannya. “Oooh, aku ? Aku dari MTs daerah Jawa Tengah.” Jawabku. 
Aku lupa, saat itu aku berada di tempat yang  berbeda dengan peradabanku, dengan bahasaku, sekaligus dengan jiwaku. 
Semua kegiatan berjalan begitu lambat, bosen benar aku berada disini. Omongan mereka yang  sama sekali  tidak aku pahami dan juga tingkah laku mereka yang menurutku over acting.
Sudah,, buyarrrr,, aku pulang dengan raut muka  memelas.
  Hari-hari pertamaku  masih aku  lalui dengan indah. Aku mulai bisa beradaptasi dengan tempat baruku. Aku mulai punya banyak teman, dan untuk suasana lingkungan yang lumayan extrim, aku mulai bisa mengikutinya. 
Selama satu tahun aku menikmati kehidupan baruku. Tapi sayangnya hal itu  tidak berlangsung lama. Setahun kemudian, “Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang,  pekerjaan di tinggalkan,  adik nggak diurus?” Suara itu seolah-olah menampar pipiku yang merah karena panas. Aku tak menjawab sedikitpun. Aku pulang telat saat itu, biasa aku pulang 13.30, hari ini aku pulang habis ashar karena ada rapat OSIS. Aku Cuma ngloyor masuk kamar dan tak memperdulikan ibu yang masih mencak-mencak diluar.
Aku merasa kehidupanku yang begitu ketat, membuat aku menjadi orang yang paling munafik didunia. Muka manis, senyum yang ramah, perilaku sopan, semuanya cuma aku suguhkan dilingkungan rumah, tapi diluar sana, apa  yang aku lakukan? Aku bertingkah layaknya orang yang bebas  tanpa pengawas. Hanya untung saja, aku masih punya iman. Aku masih takut dengan murka tuhan.
Siang itu, aku minta ijin untuk mengajar di SD, bukan ucapan dukungan  yang aku terima, tapi malah omelan yang harus aku hadapi, “terus saja pulang sore, tak peduli kerepotan ibu yang setiap hari mengurusi rumah tanpa ada yang membantu, anak macam apa kau ini ? “ lagi-lagi aku tertampar kata-kata ibu yang meluluh lantahkan semangatku, mencabik-cabik semua harapanku untuk menjadi manusia yang mengabdi pada negeri. Kenapa harus aku, punya ibu yang tak peduli dengan masa depan anaknya. Teman-temanku cuma bisa menghibur dan menghibur. Aku tahu tak ada yang lebih baik mereka lakukan selain hal itu. Aku sebisa mungkin membagi waktu untuk sekolah dan rumah. 
Entah capek atau dapat hidayah dari mana, perubahan sikap ibu mulai aku rasakan, walaupun tidak 100%, tapi paling tidak rada mendingan dari pada biasanya.
***
“Aku pengen ketemu. Sekarang. Ditempat biasa.” Saat aku buka sms, Niko minta ketemu. Dia pacarku yang baru sebulan lalu baru jadian. Entah apa yang membuatku menerima dia jadi pacarku, tak ada cinta dihatiku untuk dia, aku hanya takut dengan karma yang masih dipegang teguh  oleh masyarakat disekitarku. Karena diam-diam aku mencintai sahabat sekaligus kakak kelasku.          Hatiku lebih sakit apabila, panggil saja namanya Danang,  tak ngasih kabar dalam sehari. Rasa rindu yang menggebu, membuat aku lupa dengan status yang aku sandang dengan Niko.
Niko, pribadi  yang tidak  begitu aku kenal, karena saat itu aku kenal dia lewat FB. Aku telah masukkan Niko kedalam jurang kebohongan yang aku buat. Dia masuk dalam kehidupanku yang sama sekali tak ada agendanya untuk memasukkan Niko dalam jajaran hidupku. Berbeda dengan Danang,  pribadi yang humoris, sopan, perhatian, smart, selain itu dia juga alim. Aku suka pribadinya, dan aku merasa dia juga suka sama aku, tapi dia menghargai aku yang telah terlanjur jatuh ke tangan Niko. “ Ada apa, kayaknya serius banget ?” Tanyaku setelah sampai ke tempat yang dia maksud. “ Aku cuma pingin kepastian darimu, aku ngerasa hubungan kita sudah nggax harmonis lagi, sikap kamu yang sama sekali nggak peduli denganku. Nggak pernah sms, nelpon apalagi. Nanyain kabar atau apa untuk basa-basi.” Kata Niko semakin menuntut statusku sebagai pacarnya. Aku hanya diam. Diam dan diam. Membiarkan dia ngomel-ngomel sampai akhirnya berhenti bicara. Hening…
“Aku minta maaf.” Suaraku terdengar memecah kesunyian. “Mungkin selama ini aku nggak peduli dengan perasaan kamu, tapi aku tak bermaksud membuat kamu terapung antara perasaan kamu dan perasaanku. Sekarang terserah kamu, mau hubungan kita bagaimana. Aku tidak akan memaksa.” Kataku. Dia terdiam. Dalam hati aku berharap, berharap agar ikatan ini cepat-cepat berakhir.
 “Aku ingin kita terus, aku sudah terlanjur sayang sama kamu, aku berharap kamu dapat berubah.” Katanya. 
Sebuah jawaban yang tidak perrnah aku bayangkan dalam lamunanku sekalipun. Kenapa dia, batinku. Apa yang dia tunggu dari cewek macam aku. Apa dia tak bisa merasakan ketak-pedulianku selama ini? Aku semakin bingung dengan Niko, tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah bersikap sebisa mungkin membiarkan dia, menggantungkan hubungan ini agar semuanya cepat berakhir. Karena aku tetap pegang prinsip tidak akan memutuskan cowok. 
Suasana jadi beku seperti sedia kala. Aku tak bisa ngomong apapun. Aku biarkan perasaanku yang campur aduk. Marah, sedih, bingung,,, aarrrrrggghhhh entah apalah aku tak bisa menafsirkan perasaanku sendiri. 
“Oke. Kalau begitu aku pulang dulu,” Kataku. Aku melangkah tapi dia buru-buru memegang tanganku, aku berhenti, dia melangkah ke hadapanku. Menatapku. Aku tak kuasa menatapnya, aku tak kuasa menunjukkan sorot mata penuh kepalsuan dari mataku,”Tatap mataku,” katanya. Aku menunduk. 
“Tatap mataku,” Katanya lagi. Dengan ragu aku menatapnya, seketika aku temukan ketulusan dari sorot matanya. Aku sedikit berdebar-debar. “Tuhan…betapa kejamnya diriku,” Dalam hatiku bergumam. Dia terus menatapku. Aku semakin tak kuasa membiarkan suasana ini terjadi. Aku melepas genggamannya. Pergi.
Dilain tempat, tanpa kusadari, ternyata Danang juga  menyaksikan apa yang aku alami barusan. Hatinya sakit, lebih sakit dibanding dengan tertusuk besi panas. Dia pingin berteriak mengecam semua itu, tapi apa dia daya, dia tak punya hak, karena bagaimanapun wanita pujaan hatinya sudah ada dalam pelukan pria lain. Mungkin orang-orang berpikir betapa lemahnya dia, tidak bisa bersaing dengan jantan. Dia bukan tipe orang yang begitu, dia orang yang sportif, itulah salah satu sifat dia yang aku sukai.
***
Siang terasa begitu cepat berlalu. Malam itu, malam yang membuat aku merasa menjadi orang yang paling kacau dilingkungan remaja. Kejadian disiang hari yang masih mengacaukan pikiranku. Ditambah lagi kedatangan ayah yang semakin membuat suasana rumah tidak nyaman. Ayah, untuk menyebut namanya saja, males. Dia bukan sosok orang yang berperan layaknya pemimpin rumah tangga, layaknya nahkoda bahtera rumah tangga, tapi dia lebih ke pesakitan yang hanya ingin memenuhi nafsunya saja.  Kesana kemari bergonta-ganti pasangan, tak peduli keadaan kami yang jadi korbannya, aku juga tak tahu kenapa ibu mau dijadikan istri olehnya.
“Untuk apa dia datang kemari?” Aku bertanya pada ibu, seketika mata ayah membelalak mendengar pertanyaanku. Melihat itu aku tak gentar sedikitpun, justru aku semakin menantangnya. Aku terlanjur benci dengan sifatnya, aku terlanjur benci dengan sikapnya.
“Riska !!!!” teriak ibu melihat sikapku yang tak menunjukkan sikap sopan santunku sedikitpun. 
”Ibu orang ini tu nggak pernah peduli dengan kita, berbulan-bulan dia pergi, kemudian muncul lagi, lalu apa maksud kedatangan dia kemari?” Aku bertanya pada ibu, ibu hanya diam. Aku berbalik menatap ayah. 
”Kau mau menghancurkan kehidupan kami lagi? Langkahi dulu mayat Riska!“ kataku dengan amarah dan kebencian yang tak terkendali. 
”Sayaaang....“ ayah mendekat. Bermaksud  membelaiku, tapi aku menepisnya kasar. 
”Ayah  minta maaf, selama ini ayah  khilaf, tak peduli pada kalian. Membiarkan kalian membanting tulang mencari sesuap nasi, ayah sungguh minta maaf.“ Dia berkata memelas. Entah ekspresi sungguhan atau hanya dibuat-buat. Aku tak peduli, mau sungguhan atau dibuat-buat, yang pasti aku terlanjur tak menerima kehadiranya.  Hatiku terlalu sakit untuk menerima kenyataan ini. Dari kecil aku rindukan sosok seorang ayah, tapi figur itu tak pernah muncul dihadapanku. Sampai aku membuat pemahaman sendiri, kalau ayah itu hanyalah sesosok manusia yang tak dapat diandalkan, tak bisa  dijadikan tempat berlindung. 
”Sudahlah...., aku tidak akan mempermasalahkan ini lagi, capek sudah hidup ku menghadapi semua ini.“ Kataku sambil masuk kamar. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan selanjutnya, aku tak ingat lagi, tertidur.
***
Pagi harinya, seperti biasa,  kegiatan sebelum ke sekolah, aku bantu-bantu ibu membersihkan rumah dan masak-masak. Diam-diam aku mencari-cari orang yang katanya ayahku, tapi tak aku temukan sosok tadi malam yang membuat aku marah.
”Orang itu pergi lagi?“ Tanyaku ke ibu.
“Maksud kamu ayah kamu?“ Tanya ibu sambil  memandangku. 
Aku hanya diam sambil terus mencuci piring. 
”Sampai kapan kamu akan membencinya Riska?“ Dengan tatapan penuh penantian ibu mencoba meneliti keteguhan hatiku. Aku tak menjawab. Aku terus menyelesaikan tugasku. Ibupun kembali dengan tugasnya. 
”Sebenarnya aku sudah capek  bu kalau harus marah-marah terus saat laki-laki itu datang ke rumah. Tapi  sampai kapanpun aku tak bisa memaafkannya.“ Kataku sambil terus menyelesaikan tugasku pagi itu. Ibu tak menjawab apa-apa, dia tahu watak burukku, keras kepala.
Hari  ini, suasana kelas terasa berbeda, obrolan teman-temanku yang mulai aku pahami sedikit demi sedikit, ternyata mengganggu pagi suramku. 
”Tuh lihat !!! cewek gila yang sok kecantikan udah datang.“ Terdengar sayup-sayup suara seorang cewek yang aku kenal betul suara cewek itu siapa. Dewi. Yaaa…..dia adalah Dewi teman sekelasku. Pernah jadi teman satu geng juga. Entah apa yang membuat aku dan dia hengkang, mungkin karena watak keras kepalaku juga. Watak yang pada dasarnya tak aku sukai ini terlanjur mendarah daging. Sampai-sampai teman-temanku menjauhiku karena tak mau bersitegang denganku. Mungki selama ini hanya Niko yang tahan dengan sifat burukku itu. Setiap hari aku cuekinpun dia takkan peduli. Aku sampai bingung, apa yang harus aku lakukan untuk melepaskan diriku darinya. Lama-lama aku merasa begitu tersiksa. Aku yang terus menerus membohongi diriku dan juga Niko. 
Yang tidak aku pahami dari Niko cuma satu, kenapa dia terus mempertahankanku, kenapa dia kuat berhari-hari bahkan sekarang sudah berbulan-bulan berhubungan denganku. Hubungan yang tidak jelas untung ruginya.
Sore ini, lagi-lagi Niko minta ketemu. Bagai keledai bodoh, akupun menyetujuinya.  Aku terus mengutuk diriku, aku terus mengecam kemunafikanku. Aku sama sekali tak mencintainya, bahkan sama sekali tak berencana untuk mencintainya. 
Saat kami ketemu, Niko terlihat canggung. Dia dandan cool banget, menurutnya. Tapi menurutku, biasa aja.
“Riska, aku bawa sesuatu buat kamu,” kata Niko membuka pembicaraan. 
“Aku sengaja ngajak kamu ketemuan cuma pingin ngasih ini.” Kata Niko sambil menyodorkan sesuatu. Sesuatu dalam plastic, masih dibungkus kotak juga. Aku menerimanya. 
“Apa ini?” tanyaku penasaran. 
“Sesuatu, tapi kamu tak boleh membukanya sampai kau tau siapa aku.” Baru kali ini aku dikagetkan dengan kata-kata Niko. 
“Apa maksudnya?” pikirku 
“Kenapa?” tanyaku heran. 
“Kau akan tahu siapa aku nanti.” Jawabnya.
 “Sekarang sebaiknya kamu pulang.” Katanya lagi.
Berkali-kali bertemu dengan Niko, baru kali ini aku merasa enggan untuk pergi duluan. Niko berlalu tanpa kusadari. Aku masih berdiri terpaku, memegang barang misterius pemberian Niko.
***
Hari berganti dengan cepat. Suasana di dalam rumah terasa begitu aneh buatku. Ibu dan laki-laki yang mengaku sebagai ayahku juga ada di rumah saat aku pulang ketemu Niko kemarin. Aku masih tak peduli dengan kehadirannya. Walaupun akhir-akhir ini laki-laki itu terus berada di rumah
Sore itu, saat aku sedang asyik dengan  hobiku bermain-main didalam kamar, tiba-tiba ibu memanggiku, ”Riska. Teman kamu datang tuh, ditunggu di ruang keluarga.“ Katanya .
 ”Teman?  Siapa?  Kok di ruang keluarga segala.“ Sesaat aku berhenti bermain. Kemudian aku keluar kamar.
Begitu sampai di ruang keluarga, aku melihat ibu, adikku, Niko dan laki-laki yang katanya ayahku. Aku berjalan males menghampiri mereka. 
”Sini duduk sayaaang...“  Kata ibu. Yang lain hanya diam menatapku. 
”Ada apa? Tumben amat pada ngumpul?“ Tanya ku. Aku masih belum duduk.
Aku masih berdiri di dekat kursi dimana ibu duduk. ”Riska, maafkan kami, jika selama ini kami tidak berterus terang terhadapmu. Kami membiarkanmu hidup sengsara, dan kami tak bisa berbuat apa-apa untuk membuat kamu bahagia.“ Suara ibu tercekat di tenggorokan. Lama dia terdiam, seolah-olah ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Aku masih belum paham dengan apa yang mereka katakan. Aku masih terus berdiri didekat kursi ibu. 
”Riska, selama ini kami menyimpan rahasia besar tentang kamu.“ Kata ayah. Aku masih tak bergeming. 
”Ini mengenai keluarga kamu.“ Lanjutnya.
“Iya Riska, sebenanya kami bukan keluarga kandung kamu.“ Kata-kata ibu kali ini benar-benar melemaskan seluruh pesendianku.
 ”Barang-barang yang kemarin aku kasihkan ke kamu adalah foto mendiang keluargamu Ris.“ Kata Niko semakin membuat aku linglung. Aku masih tak  mengerti. Aku masih mencerna kata-kata mereka. Baru ketika aku tak kuasa menahan air mataku, aku sedikit bisa memahami maksud mereka. Ternyata aku bukanlah siapa-siapa di rumah ini. Wanita yang selama ini  suka marah-marah sama aku. Wanita yang kini sudah berubah seratus persen ternyata buka ibuku. Laki-laki yang sangat aku benci juga bukan ayahku. Dia ayah Niko, laki-laki yang selama ini begitu sabar menghadapi sikapku. Mereka ternyata punya kesalahan dimasa lalu. Ayah Nikolah yang menyebabkan keluargaku tak utuh. Tinggal aku seorang. Ia berbuat baik dan menahan semua perilakuku demi pengabdian atas kesalahannya.
Aku terus menangis. Menangis sampai air mataku kering. Menangis untuk kebodohanku. Kebodohanku yang tak pernah mengetahui  siapa aku sebenarnya. Air mataku tak mau berhenti sampai aku bisa  melihat keluargaku. Aku berlari keluar rumah. Terus berlari, tak mendengar teriakan dari orang-orang rumah yang mengejarku. Aku akan terus berlari. Berlari sampai air mataku kering. Berlari sampai kakiku tak sanggup lagi untuk berlari. 

No comments:

Post a Comment