Metamorfosa Sebuah Kesuksesan |
Kepuasan, kesuksesan, kekayaan, pangkat dan derajat yang tinggi.
Itulah keinginan sebagian besar maunusia yang tinggal di muka bumi ini. Menjadi
manusia yang terhormat yang memiliki segala sesuatu yang di inginkan,
seolah-olah menjadi suatu keharusan yang harus dipenuhi dalam kehidupan
manusia. Kenapa manusia begitu terobsesi dengan kesuksesan? kenapa manusia
begitu berkeinginan untuk menjadi orang berpangkat? Kenapa manusia begitu
berambisi untuk mendapat kekayaan? Mungkinkah hal tersebut merupakan cara untuk
membuat mereka puas dengan kehidupan yang mereka jalani? Entahlah, hanya mereka
yang tahu tentang tujuan hidup masing-masing. Tapi yang pasti, setiap manusia
punya mimpi. Manusia punya cita-cita. Dan mereka berhak untuk mewujudkan mimpi
mereka. Mereka berhak untuk menggapai cita-cita mereka. Aku adalah salah
satunya. Aku manusia yang punya mimpi, aku manusia yang sangat berambisi dengan
cita-citaku.
Sejak kecil aku dibesarkan dengan orang tuaku, aku hidup dengan
kesederhanaan yang selalu menghiasi hari-hari kami. Hidup kami sederhana, meskipun
terkadang masuk kategori pas-pasan. Tapi kami bahagia. Terkadang terlintas
dalam pikiranku, kenapa manusia bermimpi untuk menjadi orang sukses, kenapa
manusia bercita-cita untuk menjadi orang yang besar, padahal dengan kehidupan
kami yang sederhana, yang jauh dari kata kaya saja, kita sudah bahagia? Pikiran
sempitku terus terbang memikirkan hal itu. Aku berpikir bahwa tujuan manusia di
dunia adalah untuk bahagia. Kalau sudah bahagia, kenapa mesti bersusah payah
untuk meraih yang lebih? Yaaaah itu hanya sebatas pikiran sempitku. Pola pikir
yang muncul dari lingkungan yang terbatas pula.
Pikiran-pikiran kecil itu mulai melemah, saat aku harus
berkecimpung dengan dunia yang lebih luas. Saat aku harus pindah dari tempat
kelahiranku. Aku hijrah ke kota mengikuti saudara dari pihak ibuku. Aku tinggal bersama mereka, dan aku juga
melanjutkan studyku di daerah mereka. Daerah yang tentunya jauh berbeda dengan
daerah tempat asalku. Aku seperti bayi baru lahir di tempat itu. Sama sekali
asing buat jiwaku saat itu. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan yang begitu
plural. Kebudayaan mereka, kehidupan mereka, sangat berbeda dengan tempat
dimana aku tinggal sebelumnya. Disitulah aku mulai membangun jiwaku yang baru.
Mau tak mau aku harus menyesuaikan dengan lingkunganku yang baru.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya aku
mendapati diriku yang mulai terpuruk. Pindah ke kota merupakan sebagian dari
ideku untuk mencari pengalaman lebih. Meskipun hal itu tak sepenuhnya di restui
orang tuaku. Aku mencoba mencari sensasi baru dalam hidupku. Tapi ternyata, hal
itu bukan solusi yang bagus untuk merubah pola pikirku. Aku masih seperti yang
dulu. Sampai tiba waktuku untuk menerima kelulusan dari sekolah menengah atas.
Aku sukses lulus SMA. Tapi apa yang aku dapat? Yaaahhh kepolosan seperti sedia
kala. Seperti halnya aku yang baru lulus SMP dulu. Disitu aku mulai bingung.
Apa yang sebaiknya aku lakukan? Bekerjapun
kayaknya aku tak punya pengalaman sama sekali, keahlianpun tidak.
Dengan bekal keyakinan, aku diboyong kembali
ke tempat asalku. Tempat dimana aku dibesarkan, tempat aku mendapatkan
kemurnian jiwa. Tempat aku mendapatkan kesederhanaan hidup. Disinilah aku mulai
merintis kehidupan baruku lagi. Aku tata lagi jiwaku yang begitu berantakan
setelah bergaul dengan begitu banyak manusia. Aku menikmati kehidupanku di
kota, tapi hal itu tak merubah tekadku untuk membuat orang tuaku bangga. Itulah
cita-citaku. Itulah mimpiku. Melihat orang tuaku bangga memiliki aku adalah
cita-cita terbesarku. Aku rela melakukan apapun untuk membuat mereka tak
menyesal memiliki anak seperti aku. Kehidupanku di kota yang aku pikir bisa
membuat mereka tersenyum bangga, ternyata tidak begitu membuahkan hasil. Sampai
akhirnya mereka memutuskan untuk memboyongku kembali ke rumah.
Sekarang aku disini, sedikit demi sedikit
senyuman itu mulai muncul. Aku tak melakukan hal besar yang mempengaruhi
manusia di bumi, tapi perubahan drastis yang ku alami, membuat orang tuaku tak
bisa berkata-kata. Aku tinggal di sebuah
pesantren. Aku kuliah sekaligus menuntut ilmu agama disini. Awalnya tak ada
kesan mendalam dalam kegiatan baruku di pesantren. Jiwaku yang sudah terlanjur
lepas dari norma-norma agama merasa asing dengan segala peraturan yang ada.
Peraturan yang harus ditaati, peraturan yang begitu mengekang. Aku serasa tak
mampu untuk menjalaninya. Tapi keinginan besar untuk membuat orang tuaku
bahagia melumpuhkan keinginanku untuk kembali ke rumah. Aku berusaha menerima
semuanya, aku berusaha meganggap semuanya
baik-bik saja.
Waktu terus berjalan, kehidupanku mulai
berubah. Aral rintang terlalui satu persatu.
Perasaan tak betah dan keinginan untuk pulang lama-lama terkikis. Aku menikmati
semuanya. aku terapkan teori hikmah dalam segala hal. Tak ada yang istimewa meamang, malah terkesan
merendahkan diri. Tapi apa yang aku dapat sekarang? Tak ada yang menyangka apa
yang aku dapat. Yang aku cita-citakan terwujud. Apa yang aku harapkan sejak aku
lahir di muka bumi benar-benar jadi kenyataan. Orang tuaku bangga, kehidupanku
tercukupi. Tak ada yang lebih membuatku bahagia di dunia ini, selain tekad
balas budi terlampaui.
Bukan maksud untuk membayar biaya yang sudah
dikeluarkan orang tua demi masa depanku, tapi paling tidak, sedikit limpahan
prestasi bisa membuat mereka tersenyum bangga. Aku lihat senyuman mereka yang
mengembang begitu bahagia melihatku di atas podium menerima penghargaan. Aku
lihat air mata haru yang mengalir dari sungai kecil mereka sebagai tanda
bahagia yang tak terkira, saat aku beraksi di atas panggung.
Berbagai prestasi aku dapat, tapi tak membuat
asaku putus untuk terus membuat mereka bangga padaku. Tak henti-hentinya orang tuaku terus memberi
wejangan padaku. Jangan pernah menyerah untuk terus menorehkan prestasi.
Meskipun kegagalan terus mendampingimu, bangkitlah. Berusahalah sebisa kamu, sekuat yang
kamu mampu. Jangan lelah untuk menuntut ilmu, karena ia yang akan mengangkat
derajat kamu kelak di dunia dan akherat. Nasihat demi nasihat mereka lontarkan
hampir di setiap hari, tiada henti.
Perjalanan tak selamanya mulus nak, banyak
duri tersebar dimana-mana. Kamu harus
pandai-pandai mencari jalan kedepan agar semuanya baik-baik saja. Tak ayal kehidupan memang harus dibarengi dengan
hal-hal ekstrim yang bisa membuat para penikmatnya semakin tertantang. Apalah arti kehidupan jika ia berjalan mulus
tanpa adanya lika-liku yang harus dilewati.
Yaaahhh ...aku pun mencoba memaknai lika-liku
kehidupan itu sebijak yang aku bisa, meskipun pada akhirnya aku tak tahu apa yang
sebenarnya sedang aku hadapi. Tapi yang jelas langkahku terus tertata ke depan demi kesuksesan yang menunggu untuk diwujudkan.
No comments:
Post a Comment