Friday 19 February 2016

Metamorfosa Sebuah Kesuksesan

Metamorfosa  Sebuah Kesuksesan
Kepuasan, kesuksesan, kekayaan, pangkat dan derajat yang tinggi. Itulah keinginan sebagian besar maunusia yang tinggal di muka bumi ini. Menjadi manusia yang terhormat yang memiliki segala sesuatu yang di inginkan, seolah-olah menjadi suatu keharusan yang harus dipenuhi dalam kehidupan manusia. Kenapa manusia begitu terobsesi dengan kesuksesan? kenapa manusia begitu berkeinginan untuk menjadi orang berpangkat? Kenapa manusia begitu berambisi untuk mendapat kekayaan? Mungkinkah hal tersebut merupakan cara untuk membuat mereka puas dengan kehidupan yang mereka jalani? Entahlah, hanya mereka yang tahu tentang tujuan hidup masing-masing. Tapi yang pasti, setiap manusia punya mimpi. Manusia punya cita-cita. Dan mereka berhak untuk mewujudkan mimpi mereka. Mereka berhak untuk menggapai cita-cita mereka. Aku adalah salah satunya. Aku manusia yang punya mimpi, aku manusia yang sangat berambisi dengan cita-citaku.

Sejak kecil aku dibesarkan dengan orang tuaku, aku hidup dengan kesederhanaan yang selalu menghiasi hari-hari kami. Hidup kami sederhana, meskipun terkadang masuk kategori pas-pasan. Tapi kami bahagia. Terkadang terlintas dalam pikiranku, kenapa manusia bermimpi untuk menjadi orang sukses, kenapa manusia bercita-cita untuk menjadi orang yang besar, padahal dengan kehidupan kami yang sederhana, yang jauh dari kata kaya saja, kita sudah bahagia? Pikiran sempitku terus terbang memikirkan hal itu. Aku berpikir bahwa tujuan manusia di dunia adalah untuk bahagia. Kalau sudah bahagia, kenapa mesti bersusah payah untuk meraih yang lebih? Yaaaah itu hanya sebatas pikiran sempitku. Pola pikir yang muncul dari lingkungan yang terbatas pula.
Pikiran-pikiran kecil itu mulai melemah, saat aku harus berkecimpung dengan dunia yang lebih luas. Saat aku harus pindah dari tempat kelahiranku. Aku hijrah ke kota mengikuti saudara dari pihak ibuku. Aku tinggal bersama mereka, dan aku juga melanjutkan studyku di daerah mereka. Daerah yang tentunya jauh berbeda dengan daerah tempat asalku. Aku seperti bayi baru lahir di tempat itu. Sama sekali asing buat jiwaku saat itu. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan yang begitu plural. Kebudayaan mereka, kehidupan mereka, sangat berbeda dengan tempat dimana aku tinggal sebelumnya. Disitulah aku mulai membangun jiwaku yang baru. Mau tak mau aku harus menyesuaikan dengan lingkunganku yang baru.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya aku mendapati diriku yang mulai terpuruk. Pindah ke kota merupakan sebagian dari ideku untuk mencari pengalaman lebih. Meskipun hal itu tak sepenuhnya di restui orang tuaku. Aku mencoba mencari sensasi baru dalam hidupku. Tapi ternyata, hal itu bukan solusi yang bagus untuk merubah pola pikirku. Aku masih seperti yang dulu. Sampai tiba waktuku untuk menerima kelulusan dari sekolah menengah atas. Aku sukses lulus SMA. Tapi apa yang aku dapat? Yaaahhh kepolosan seperti sedia kala. Seperti halnya aku yang baru lulus SMP dulu. Disitu aku mulai bingung. Apa yang sebaiknya aku lakukan? Bekerjapun  kayaknya aku tak punya pengalaman sama sekali, keahlianpun tidak.
Dengan bekal keyakinan, aku diboyong kembali ke tempat asalku. Tempat dimana aku dibesarkan, tempat aku mendapatkan kemurnian jiwa. Tempat aku mendapatkan kesederhanaan hidup. Disinilah aku mulai merintis kehidupan baruku lagi. Aku tata lagi jiwaku yang begitu berantakan setelah bergaul dengan begitu banyak manusia. Aku menikmati kehidupanku di kota, tapi hal itu tak merubah tekadku untuk membuat orang tuaku bangga. Itulah cita-citaku. Itulah mimpiku. Melihat orang tuaku bangga memiliki aku adalah cita-cita terbesarku. Aku rela melakukan apapun untuk membuat mereka tak menyesal memiliki anak seperti aku. Kehidupanku di kota yang aku pikir bisa membuat mereka tersenyum bangga, ternyata tidak begitu membuahkan hasil. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk memboyongku kembali ke rumah.
Sekarang aku disini, sedikit demi sedikit senyuman itu mulai muncul. Aku tak melakukan hal besar yang mempengaruhi manusia di bumi, tapi perubahan drastis yang ku alami, membuat orang tuaku tak bisa berkata-kata.  Aku tinggal di sebuah pesantren. Aku kuliah sekaligus menuntut ilmu agama disini. Awalnya tak ada kesan mendalam dalam kegiatan baruku di pesantren. Jiwaku yang sudah terlanjur lepas dari norma-norma agama merasa asing dengan segala peraturan yang ada. Peraturan yang harus ditaati, peraturan yang begitu mengekang. Aku serasa tak mampu untuk menjalaninya. Tapi keinginan besar untuk membuat orang tuaku bahagia melumpuhkan keinginanku untuk kembali ke rumah. Aku berusaha menerima semuanya, aku berusaha meganggap semuanya  baik-bik saja.   
Waktu terus berjalan, kehidupanku mulai berubah. Aral rintang terlalui satu persatu. Perasaan tak betah dan keinginan untuk pulang lama-lama terkikis. Aku menikmati semuanya. aku terapkan teori hikmah dalam segala hal. Tak ada yang istimewa meamang, malah terkesan merendahkan diri. Tapi apa yang aku dapat sekarang? Tak ada yang menyangka apa yang aku dapat. Yang aku cita-citakan terwujud. Apa yang aku harapkan sejak aku lahir di muka bumi benar-benar jadi kenyataan. Orang tuaku bangga, kehidupanku tercukupi. Tak ada yang lebih membuatku bahagia di dunia ini, selain tekad balas budi terlampaui.
Bukan maksud untuk membayar biaya yang sudah dikeluarkan orang tua demi masa depanku, tapi paling tidak, sedikit limpahan prestasi bisa membuat mereka tersenyum bangga. Aku lihat senyuman mereka yang mengembang begitu bahagia melihatku di atas podium menerima penghargaan. Aku lihat air mata haru yang mengalir dari sungai kecil mereka sebagai tanda bahagia yang tak terkira, saat aku beraksi di atas panggung.
Berbagai prestasi aku dapat, tapi tak membuat asaku putus untuk terus membuat mereka bangga padaku.  Tak henti-hentinya orang tuaku terus memberi wejangan padaku. Jangan pernah menyerah untuk terus menorehkan prestasi. Meskipun kegagalan terus mendampingimu, bangkitlah. Berusahalah sebisa kamu, sekuat yang kamu mampu. Jangan lelah untuk menuntut ilmu, karena ia yang akan mengangkat derajat kamu kelak di dunia dan akherat. Nasihat demi nasihat mereka lontarkan hampir di setiap hari, tiada henti.
Perjalanan tak selamanya mulus nak, banyak duri tersebar dimana-mana.  Kamu harus pandai-pandai mencari jalan kedepan agar semuanya baik-baik saja. Tak ayal  kehidupan memang harus dibarengi dengan hal-hal ekstrim yang bisa membuat para penikmatnya semakin tertantang.  Apalah arti kehidupan jika ia berjalan mulus tanpa adanya lika-liku yang harus dilewati.

Yaaahhh ...aku pun mencoba memaknai lika-liku kehidupan itu sebijak yang aku bisa, meskipun pada akhirnya aku tak tahu apa yang sebenarnya sedang aku hadapi. Tapi yang jelas langkahku terus tertata ke depan demi kesuksesan yang menunggu untuk diwujudkan. 

No comments:

Post a Comment