|
Wa'alaikum salam akhiii.. |
“Assalamua’alaikum
ukhti, apa kabar?”
Aku buka
handphoneku dan ku lihat ada sms dari nomor yang tak ku kenal. Sebentar ku ingat-ingat nomor itu, tapi
nihil, memori otakku tak berhasil menemukan nomor yang tertera di layar handphoneku
sekarang. Rasa penasaran mulai bergelayut ria. Aku ingin membalasnya, tapi
keraguan tak mau kalah berdesakan berbaur dengan rasa penasaranku.
Aku
masukkan handphoneku ke tas punggung kesayanganku dan tak memperdulikan sms
yang baru saja mengacaukan pikiranku.
“Maaa…Aathifa berangkat dulu ya…” kataku. Kebetulan mama
lagi di kamar mandi, jadi aku tak sempat cium tangan seperti biasanya.
„Iyaa sayang, hati-hati“. Kata mamaku dari dalam kamar
mandi dengan suara yang tak kalah kerasnya dengan suaraku.
Tiba-tiba handphoneku berdering lagi. Aku mencoba
mengabaikan dan terus melangkah keluar rumah.
***
„Aathifaa..Aathifaa....disini.“ kata seseorang yang
suaranya tak asing lagi buatku. „Heiii..udah dari tadi?“ tanyaku sambil berlari
ke arahnya.
„Baru 5 menitan.“
Kata orang yang tadi memanggil-manggil namaku. Nuria. Yaahh...dialah orang yang
suaranya begitu aku kenali. Aku tak akan tertukar dengan siapapun meskipun aku
hanya mendengar suaranya tanpa harus melihat wajahnya. Dia teman satu
organisasi denganku. Dan kami bertemu dalam organisasi sosial yang kami jalani
bersama. Memang belum lama kenal dengannya, tapi aku merasa seperti sudah
mengenalnya sejak lama. Aku begitu nyaman ketika bersama dengan dia.
„Kita
mau kemana nih?“ tanyanya tanpa melihatku. Dia sibuk mengamati lingkunga
sekitar yang meskipun sudah kami lewati berkali-kali tapi rasanya selalu ada
saja yang menarik untuk di amati di tempat tersebut.
“Enaknya
kemana yaa?” kataku bukannya menjawab pertanyaannya malah bailk bertanya.
“Sebel
deh, ngajak keluar tapi nggak jelas tujuannya?’ katanya mulai melotot ke
arahku.
“Upsss…Soriii
sorii. Bukannya gitu. Aku punya tujuan, cuma siapa tahu kamu juga punya usulan
kita mau kemana gitu?” kataku dengan alasan yang biasa aku lontarkan tatkala
kepergok ngajak jalan tapi nggak punya tujuan yang jelas.
Begitulah
Nuria. Dia selalu bersedia menemani kemanapun aku pergi, tapi dia paling benci
kalau aku tak punya tujuan yang jelas.
“Gilaa
kamu yaa,, emang biasanya gimana?” katanya lagi mulai ngambek.
“yaahh
ngambek deh.” Kataku.
“Auuu.”
Tiba-tiba aku tersandung sesuatu. Entah kenapa aku
tersungkur. Padahal Cuma terkena batu kecil. „Kamu nggak papa?“ Kata Nuria
membantuku berdiri.
„Iyaa,,,aku baik-baik aja.“
„Kenapa sih, perasaan nggak ada batu besar deh, kok bisa
jatuh.“
„aku juga nggak tahu.“
Kami melanjutkan perjalanan tanpa tujuan yang jelas.
Tanpa terasa kami sampai di sebuah pameran lukisan yang nggak begitu besar tapi
lumayan banyak pengunjungnya. „kita mampir kesitu yuuk.“ Kataku. Nuria hanya
manut saja, berjalan menggandeng tanganku. Cukup lama kami berkeliling
melihat-lihat lukisan yang di pajang disana. Aku tak begitu paham dengan
lukisan, tapi aku menikmati indahnya goresan-goresan tangan anak manusia yang
serasa tanpa cacat sedikitpun.
„Assalamu’alaikum ukhtii..“ Kali ini terdengar sangat
jelas. Tanpa penghalang layar handphone atau apapun. Aku berusaha mencari
sumber suara. Dan meyakinkan, apakah salam tersebut benar-benar di tujukan
untukku atau ada orang lain yang sedang saling sapa. Aku memutar badan, mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru tempat dimana lukisan-lukisan itu di pajang. Tak
ada orang yang terlihat habis mengucapkan salam. Mereka sibuk dengan keasikan
mereka menikmati lukisan-lukisan disana. Aku menepis rasa penasaranku dan
berjalan menjauh dari tempatku berdiri.
Aku berjalan mendekati Nuria yang mulai asik dengan
lukisan-lukisan di tempat itu. „udah puas belum?“ kataku mengagetkan Nuria yang
sedang fokus mengambil gambar salah satu lukisan.
„euh...“ kata dia tetap fokus meskipun sempat menoleh ke
arahku.
„bentar lagi.“ Katanya tanpa bergeming sedikitpun.
Aku sabar menunggu disampingnya. Tak
berapa lama aku sudah bosan dan megajak Nuria pulang. Nuria hanya mendengus kesal. Aku tersenyum tanpa merasa
bersalah sedikitpun. Begitulah kami. Serasa nggak ada yang perlu di canggungkan
meskipun kami terkadang saling mengecewakan, tapi hubungan persahabatan kami
selalu berjalan dengan damai.
***
„Darimana
sayaang, kok cepet pulangnya, tumben. Biasanya betah banget kalau sudah keluar
sama Nuria,” kata mama yang memang sudah mengetahui keakraban kami. “Ke pameran lukisan ma…”kataku. “Maaa,,,aku mandi dulu
yaa.” Kataku sambil mencium tangan mama dan pergi ke kamar.
Aku langsung
memeriksa handphoneku. Tak ada yang aneh disana, hanya nomor yang tadi
mengirim sms belum aku hapus. Aku masih bisa membaca dengan jelas sms yang aku
terima sebelum aku pergi ke pameran lukisan tadi.
Tanganku mulai mengetik balasan untuk sms dari nomor tak
bernama tadi. “Siapa?” tanyaku dalam balasan tersebut. Belum sempat aku menekan
tombol send, ada sms baru yang masuk. Aku membatalkan sms balasan tadi dan mengecek
sms yang baru saja masuk. Aku lihat nomornya, sama persis dengan nomor yang
tadi pagi ngirim sms.
“Assalamu’alaikum
ukhtii.. kok di sapa di pameran lukisan tadi nggak di jawab?” katanya dalam
smsnya. Aku semakin penasaran. Akupun mencoba membalas smsnya. Rasanya aku belum pernah memberikan nomor hapeku ke orang
yang sama sekali tak aku kenali. Kata “Siapa” yang tadi belum sempat aku
kirimpun, sekarang telah melesat ke satelit di luar angkasa dan aku rasa sudah
memasuki area yang di tuju. Aku meunggu balasannya, tapi tak juga di balas. Aku
beranjak mandi, tiba-tiba nada sms dari hapeku kembali berdering. Aku langsung
berlari mengambil hapeku, tanpa ba-bi-bu aku baca sms yang masuk. „Lupa ya?“
jawabnya.
„Maaf
nomornya nggak ada namanya.“ Balasku lagi.
„Aku Faris.“
Sontak
aku deg-degan nggak jelas membaca nama yang tertera dalam layar hapeku. Nama yang selama ini aku tunggu-tunggu kabarnya. Nama
yang selama ini membuatku tak bisa berbuat apa-apa karena begitu merindunya.
Nama yang selama ini selalu terselip dalam setiap doaku. Tapi apalah dayaku
sebagai wanita berakhlak, yang katanya harus menjaga hati dan menjaga diri dari
hubungan macam apapun dengan seorang ikhwan yang bukan muhrim. Aku sungguh tak
bisa membohongi diriku, apalagi hatiku. Dia, telah terlanjur terlukis indah
dalam lubuk hatiku.
Aku tak tahu harus berbuat apa, saking bahagianya hati
ini. Aku terus pandangi nama yang tertera dalam sms tadi. Yaa Alloh, inikah
jawaban dari setiap hembusan doaku? Atau ujiankah ini?
„Wa’alaikum salam
mas Faris.“ Aku balas smsnya setelah lama bergelut dengan perasaan yang
tak menentu. Diam-diam aku menunggu balasannya.
„Apa kabar ukhti Aathifa? Lama nggak ada kabar, kemana
aja?“
„Alhamdulillah baik mas, mas sendiri gimana kabarnya?“
„Alhamdulillah baik juga. Lagi sibuk apa nih sekarang?
Masih suka ngumpul bareng anak-anak?“
„Iya kadang-kadang mas, paling sering sama Nuria. Kita
selalu jalan bareng.“ Obrolan kami megalir begitu saja. Berbagai hal kami
ceritakan. Begitu bahagia rasanya hati ini. Sampai-sampai waktu berlalu begitu
cepat.
„kapan bisa ketemu ukhti? Ada yang pingin aku omongin.“ katanya.
Aku tak
langsung membalas. Aku ragu apakah aku yakin
bisa bertemu dengannya atau tidak. Jujur. Aku sangat merindukannya, tapi kalau
untuk bertemu, rasanya aku tak punya kekuatan untuk saling bertatap muka.
Entahlah. Aku tak pernah punya keberanian untuk bisa berbincang dengan lawan
jenis, apalagi itu orang lain. Aku biarkan smsnya tak berbalas.
Hari berlalu dan malam mulai singgah dalam peraduannya. Aku
masih bingung memikirkan pertanyaan dari mas Faris. Sampai akhirnya aku lupa
dan tertidur.
Nur ketemu yuk. Di tempat biasa ya, ada yang pingin aku
omongin nih.
Smsku melesat
ke tempat Nuria.
***
“Kenapa
lagi Aathifa, baru kemarin kita ketemu udah minta ketemu lagi.”
“Aku kangen sama kamu.” Kataku meledek Nuria.
„Gombal.
Pasti ada maunya .“ jawabnya
“Aku
pingin ngomong sesuatu.”
“Kan bisa lewat sms ..”
“Nggak bisa, harus aku omongin langsung.”
„Apaan sih, serius banget kayaknya.“
„Sebenarnya nggak juga sih, tapi aku bingung nih.“
„Bingung“
Aku ceritakan semua yang aku hadapi kemarin sepulang dari
pameran lukisan. Terlihat Nuria begitu serius mendengar curhatanku.
„Kamu coba ketemu aja kalau gitu.“
„Pliss deh Nur, kamu kan tahu aku nggak pernah ketemu
sama ikhwan manapun. Mana aku berani.“
„Aku temenin.“ Katanya
Aku termenung. Ada baiknya juga kalau pergi bareng Nuria.
„Ya udah. Nanti aku kabari lagi.“ Kataku.
„kamu mau pulang?“
„emang mau ngapain lagi?“
„yaa Alloh Aathifa, kita ketemu Cuma mau bilang kayak
gini? Nggak. Nggak. Kita harus makan-makan dulu. Di kira nggak capek apa baru
nyampe langsung pergi lagi.“ Kata Nuria protes.
„okke deh. Aku yang traktir. Mau makan apa?“
„Nah gitu dong....“ katanya dengan senyuman khasnya.
Akhirnya kita putuskan untuk makan dekat kita ketemu
tadi.
„Yuk pulang. Kan udah kenyang.“ Kataku melirik ke arah
Nuria. Dia nyerenges tanpa dosa.
***
„Ukhti...dalam diam aku berdoa, semoga yang kuasa berkehendak menyatukan hati
kita. Aku selalu menyelipkan namamu di setiap doaku, berharap semoga engkau
memang bidadari syurga yang Alloh turunkan untukku. Tapi apakah engkau tahu
ukhti,,,,hati ini selalu takut untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin
sekali aku ungkapkan. Lidah ini kelu setiap kali aku tatap wajah sendumu. Wajah
yang selalu terairi air wudlu, wajah yang selalu tertunduk setiap kali engkau
jumpa ikhwan yang bukan mukhrimmu. Ukhtii...dengan segenap keberanian aku
kirimkan sepatah dua patah kata, berharap engkau akan memahami dan mengerti apa
maksud dari tuisanku ini. Ukhtii ...jawablah salam dariku sekiranya engkau
memang bersedia mengarungi samudra kehidupan bersamaku. Sekiranya engkau
bersedia saling mengingatkan akan kekurangan-kekuranganku. Dan sekiranya engkau
sudi menjadi ibu dari anak-anakku, dan menjadi madrasah bagi anak-anakku kelak.
Assalamu’alaikum ukhti“
Aku baru saja sampai rumah, dan hatiku sudah dibuat
berdebar-debar dengan kata-kata yang aku dapatkan dari mas Faris. Tanganku masih
bergetar memegangi hapeku. Aku tak kuasa menahan linangan air mata yang mulai
membanjiri pipiku. Yaa Allohh...benarkah dia jawaban dari setiap doa-doaku? Benarkah
apa yang aku ucapkan dalam doaku setiap
saat Engkau kabulkan ya Alloh? Aku masih tak bisa mengontrol hatiku. Bahagia,
senang, terharu, dan campur aduk...
Mas Faris
tak memintaku hal yang lebih, dia hanya ingin kita saling melengkapi dan
menguatkan. Tapi apa aku pantas yaa Alloh, dengan dia yang
begitu sempurna di mataku. Di mata semua akhwat, mas Faris sempurna tiada cela.
Ya Alloh,,,haruskah aku jawab salamnya, dan aku tunggu
pinangannya? Atau aku pura-pura tak tahu dengan apa yang baru saja aku baca? Hati
ini terus saja bergejolak. Disisi lain aku begitu megharapkannya, tapi aku
khawatir akan membuatnya kecewa dengan segala kekuranganku. Aku serasa tak
punya kepercayaan diri kalau harus bersanding dengannya.
Aku mencoba mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Setelah
yakin dengan jawabanya, akhirnya aku putuskan untuk menjawab salamnya.
„Wa’alaikum salam Akhi...“ hanya kata itu yang bisa aku kirimkan
lewat sms yang dengan sepenuh hati aku ketik dan aku kirimkan pada orang
yang selama ini begitu aku inginkan
menjadi imam dalam setiap sujud ibadahku. Orang yang selama ini aku tunggu agar
aku bisa meng-aminkan setiap kalimah doa yang dia curahkan pada Tuhannya. Akhiii...semoga
ibadah kita sempurna degan mengikuti perintah_Nya, dan sunnah Rosul-Nya.
Ammiinn.