Tuesday 1 March 2016

Wa’alaikum salam akhii ….

Wa'alaikum salam akhiii..

“Assalamua’alaikum ukhti, apa  kabar?”
Aku buka handphoneku dan ku lihat ada sms dari nomor yang tak ku kenal.  Sebentar ku ingat-ingat nomor itu, tapi nihil, memori otakku tak berhasil menemukan nomor yang tertera di layar handphoneku sekarang. Rasa penasaran mulai bergelayut ria. Aku ingin membalasnya, tapi keraguan tak mau kalah berdesakan berbaur dengan rasa penasaranku.
Aku masukkan handphoneku ke tas punggung kesayanganku dan tak memperdulikan sms yang baru saja mengacaukan pikiranku.
“Maaa…Aathifa berangkat dulu ya…” kataku. Kebetulan mama lagi di kamar mandi, jadi aku tak sempat cium tangan seperti biasanya.
„Iyaa sayang, hati-hati“. Kata mamaku dari dalam kamar mandi dengan suara yang tak kalah kerasnya dengan suaraku.
Tiba-tiba handphoneku berdering lagi. Aku mencoba mengabaikan dan terus melangkah keluar rumah.
***
„Aathifaa..Aathifaa....disini.“ kata seseorang yang suaranya tak asing lagi buatku. „Heiii..udah dari tadi?“ tanyaku sambil berlari ke arahnya.
„Baru 5  menitan.“ Kata orang yang tadi memanggil-manggil namaku. Nuria. Yaahh...dialah orang yang suaranya begitu aku kenali. Aku tak akan tertukar dengan siapapun meskipun aku hanya mendengar suaranya tanpa harus melihat wajahnya. Dia teman satu organisasi denganku. Dan kami bertemu dalam organisasi sosial yang kami jalani bersama. Memang belum lama kenal dengannya, tapi aku merasa seperti sudah mengenalnya sejak lama. Aku begitu nyaman ketika bersama dengan dia.
„Kita mau kemana nih?“ tanyanya tanpa melihatku. Dia sibuk mengamati lingkunga sekitar yang meskipun sudah kami lewati berkali-kali tapi rasanya selalu ada saja yang menarik untuk di amati di tempat tersebut.
“Enaknya kemana yaa?” kataku bukannya menjawab pertanyaannya malah bailk bertanya.
“Sebel deh, ngajak keluar tapi nggak jelas tujuannya?’ katanya mulai melotot ke arahku.
“Upsss…Soriii sorii. Bukannya gitu. Aku punya tujuan, cuma siapa tahu kamu juga punya usulan kita mau kemana gitu?” kataku dengan alasan yang biasa aku lontarkan tatkala kepergok ngajak jalan tapi nggak punya tujuan yang jelas.
Begitulah Nuria. Dia selalu bersedia menemani kemanapun aku pergi, tapi dia paling benci kalau aku tak punya tujuan yang jelas.
“Gilaa kamu yaa,, emang biasanya gimana?” katanya lagi mulai ngambek.
“yaahh ngambek deh.” Kataku.
“Auuu.”
Tiba-tiba aku tersandung sesuatu. Entah kenapa aku tersungkur. Padahal Cuma terkena batu kecil. „Kamu nggak papa?“ Kata Nuria membantuku berdiri.
„Iyaa,,,aku baik-baik aja.“
„Kenapa sih, perasaan nggak ada batu besar deh, kok bisa jatuh.“
„aku juga nggak tahu.“
Kami melanjutkan perjalanan tanpa tujuan yang jelas. Tanpa terasa kami sampai di sebuah pameran lukisan yang nggak begitu besar tapi lumayan banyak pengunjungnya. „kita mampir kesitu yuuk.“ Kataku. Nuria hanya manut saja, berjalan menggandeng tanganku. Cukup lama kami berkeliling melihat-lihat lukisan yang di pajang disana. Aku tak begitu paham dengan lukisan, tapi aku menikmati indahnya goresan-goresan tangan anak manusia yang serasa tanpa cacat sedikitpun.
„Assalamu’alaikum ukhtii..“ Kali ini terdengar sangat jelas. Tanpa penghalang layar handphone atau apapun. Aku berusaha mencari sumber suara. Dan meyakinkan, apakah salam tersebut benar-benar di tujukan untukku atau ada orang lain yang sedang saling sapa. Aku memutar badan, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru tempat dimana lukisan-lukisan itu di pajang. Tak ada orang yang terlihat habis mengucapkan salam. Mereka sibuk dengan keasikan mereka menikmati lukisan-lukisan disana. Aku menepis rasa penasaranku dan berjalan menjauh dari tempatku berdiri.
Aku berjalan mendekati Nuria yang mulai asik dengan lukisan-lukisan di tempat itu. „udah puas belum?“ kataku mengagetkan Nuria yang sedang fokus mengambil gambar salah satu lukisan.
„euh...“ kata dia tetap fokus meskipun sempat menoleh ke arahku.
„bentar lagi.“ Katanya tanpa bergeming sedikitpun.
Aku sabar menunggu disampingnya. Tak berapa lama aku sudah bosan dan megajak Nuria pulang. Nuria hanya mendengus kesal. Aku tersenyum tanpa merasa bersalah sedikitpun. Begitulah kami. Serasa nggak ada yang perlu di canggungkan meskipun kami terkadang saling mengecewakan, tapi hubungan persahabatan kami selalu berjalan dengan damai.
***
„Darimana sayaang, kok cepet pulangnya, tumben. Biasanya betah banget kalau sudah keluar sama Nuria,” kata mama yang memang sudah mengetahui keakraban kami. “Ke pameran lukisan ma…”kataku. “Maaa,,,aku mandi dulu yaa.” Kataku sambil mencium tangan mama dan pergi ke kamar.
Aku langsung  memeriksa handphoneku. Tak ada yang aneh disana, hanya nomor yang tadi mengirim sms belum aku hapus. Aku masih bisa membaca dengan jelas sms yang aku terima sebelum aku pergi ke pameran lukisan tadi.
Tanganku mulai mengetik balasan untuk sms dari nomor tak bernama tadi. “Siapa?” tanyaku dalam balasan tersebut. Belum sempat aku menekan tombol send, ada sms baru yang masuk. Aku membatalkan sms balasan tadi dan mengecek sms yang baru saja masuk. Aku lihat nomornya, sama persis dengan nomor yang tadi pagi ngirim sms.
“Assalamu’alaikum ukhtii.. kok di sapa di pameran lukisan tadi nggak di jawab?” katanya dalam smsnya. Aku semakin penasaran. Akupun mencoba membalas smsnya. Rasanya aku belum pernah memberikan nomor hapeku ke orang yang sama sekali tak aku kenali. Kata “Siapa” yang tadi belum sempat aku kirimpun, sekarang telah melesat ke satelit di luar angkasa dan aku rasa sudah memasuki area yang di tuju. Aku meunggu balasannya, tapi tak juga di balas. Aku beranjak mandi, tiba-tiba nada sms dari hapeku kembali berdering. Aku langsung berlari mengambil hapeku, tanpa ba-bi-bu aku baca sms yang masuk. „Lupa ya?“ jawabnya.
„Maaf nomornya nggak ada namanya.“ Balasku lagi.
„Aku Faris.“
Sontak aku deg-degan nggak jelas membaca nama yang tertera dalam layar hapeku. Nama yang selama ini aku tunggu-tunggu kabarnya. Nama yang selama ini membuatku tak bisa berbuat apa-apa karena begitu merindunya. Nama yang selama ini selalu terselip dalam setiap doaku. Tapi apalah dayaku sebagai wanita berakhlak, yang katanya harus menjaga hati dan menjaga diri dari hubungan macam apapun dengan seorang ikhwan yang bukan muhrim. Aku sungguh tak bisa membohongi diriku, apalagi hatiku. Dia, telah terlanjur terlukis indah dalam lubuk hatiku.
Aku tak tahu harus berbuat apa, saking bahagianya hati ini. Aku terus pandangi nama yang tertera dalam sms tadi. Yaa Alloh, inikah jawaban dari setiap hembusan doaku? Atau ujiankah ini?  
„Wa’alaikum salam  mas Faris.“ Aku balas smsnya setelah lama bergelut dengan perasaan yang tak menentu. Diam-diam aku menunggu balasannya.
„Apa kabar ukhti Aathifa? Lama nggak ada kabar, kemana aja?“
„Alhamdulillah baik mas, mas sendiri gimana kabarnya?“
„Alhamdulillah baik juga. Lagi sibuk apa nih sekarang? Masih suka ngumpul bareng anak-anak?“
„Iya kadang-kadang mas, paling sering sama Nuria. Kita selalu jalan bareng.“ Obrolan kami megalir begitu saja. Berbagai hal kami ceritakan. Begitu bahagia rasanya hati ini. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat.
„kapan bisa ketemu ukhti? Ada yang pingin aku omongin.“ katanya.
Aku tak langsung membalas. Aku ragu apakah aku yakin bisa bertemu dengannya atau tidak. Jujur. Aku sangat merindukannya, tapi kalau untuk bertemu, rasanya aku tak punya kekuatan untuk saling bertatap muka. Entahlah. Aku tak pernah punya keberanian untuk bisa berbincang dengan lawan jenis, apalagi itu orang lain. Aku biarkan smsnya tak berbalas.
Hari berlalu dan malam mulai singgah dalam peraduannya. Aku masih bingung memikirkan pertanyaan dari mas Faris. Sampai akhirnya aku lupa dan tertidur.
Nur ketemu yuk. Di tempat biasa ya, ada yang pingin aku omongin nih.
Smsku melesat ke tempat Nuria.
***
“Kenapa lagi Aathifa, baru kemarin kita ketemu udah minta ketemu lagi.”
“Aku kangen sama kamu.” Kataku meledek Nuria.
„Gombal. Pasti ada maunya .“ jawabnya
“Aku pingin ngomong sesuatu.”
“Kan bisa lewat sms ..”
“Nggak bisa, harus aku omongin langsung.”
„Apaan sih, serius banget kayaknya.“
„Sebenarnya nggak juga sih, tapi aku bingung nih.“
„Bingung“
Aku ceritakan semua yang aku hadapi kemarin sepulang dari pameran lukisan. Terlihat Nuria begitu serius mendengar curhatanku.
„Kamu coba ketemu aja kalau gitu.“
„Pliss deh Nur, kamu kan tahu aku nggak pernah ketemu sama ikhwan manapun. Mana aku berani.“
„Aku temenin.“ Katanya
Aku termenung. Ada baiknya juga kalau pergi bareng  Nuria.
„Ya udah. Nanti aku kabari lagi.“ Kataku.
„kamu mau pulang?“
„emang mau ngapain lagi?“
„yaa Alloh Aathifa, kita ketemu Cuma mau bilang kayak gini? Nggak. Nggak. Kita harus makan-makan dulu. Di kira nggak capek apa baru nyampe langsung pergi lagi.“ Kata Nuria protes.
„okke deh. Aku yang traktir. Mau makan apa?“
„Nah gitu dong....“ katanya dengan senyuman khasnya.
Akhirnya kita putuskan untuk makan dekat kita ketemu tadi.
„Yuk pulang. Kan udah kenyang.“ Kataku melirik ke arah Nuria. Dia nyerenges tanpa dosa.
***
„Ukhti...dalam diam aku berdoa,  semoga yang kuasa berkehendak menyatukan hati kita. Aku selalu menyelipkan namamu di setiap doaku, berharap semoga engkau memang bidadari syurga yang Alloh turunkan untukku. Tapi apakah engkau tahu ukhti,,,,hati ini selalu takut untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin sekali aku ungkapkan. Lidah ini kelu setiap kali aku tatap wajah sendumu. Wajah yang selalu terairi air wudlu, wajah yang selalu tertunduk setiap kali engkau jumpa ikhwan yang bukan mukhrimmu. Ukhtii...dengan segenap keberanian aku kirimkan sepatah dua patah kata, berharap engkau akan memahami dan mengerti apa maksud dari tuisanku ini. Ukhtii ...jawablah salam dariku sekiranya engkau memang bersedia mengarungi samudra kehidupan bersamaku. Sekiranya engkau bersedia saling mengingatkan akan kekurangan-kekuranganku. Dan sekiranya engkau sudi menjadi ibu dari anak-anakku, dan menjadi madrasah bagi anak-anakku kelak. Assalamu’alaikum ukhti“
Aku baru saja sampai rumah, dan hatiku sudah dibuat berdebar-debar dengan kata-kata yang aku dapatkan dari mas Faris. Tanganku masih bergetar memegangi hapeku. Aku tak kuasa menahan linangan air mata yang mulai membanjiri pipiku. Yaa Allohh...benarkah dia jawaban dari setiap doa-doaku? Benarkah apa yang  aku ucapkan dalam doaku setiap saat Engkau kabulkan ya Alloh? Aku masih tak bisa mengontrol hatiku. Bahagia, senang, terharu, dan campur aduk...
Mas Faris tak memintaku hal yang lebih, dia hanya ingin kita saling melengkapi dan menguatkan. Tapi apa aku pantas yaa Alloh, dengan dia yang begitu sempurna di mataku. Di mata semua akhwat, mas Faris sempurna tiada cela.
Ya Alloh,,,haruskah aku jawab salamnya, dan aku tunggu pinangannya? Atau aku pura-pura tak tahu dengan apa yang baru saja aku baca? Hati ini terus saja bergejolak. Disisi lain aku begitu megharapkannya, tapi aku khawatir akan membuatnya kecewa dengan segala kekuranganku. Aku serasa tak punya kepercayaan diri kalau harus bersanding dengannya.
Aku mencoba mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Setelah yakin dengan jawabanya, akhirnya aku putuskan untuk menjawab salamnya.
„Wa’alaikum salam Akhi...“ hanya kata itu yang bisa aku kirimkan lewat sms yang dengan sepenuh hati aku ketik dan aku kirimkan pada orang yang  selama ini begitu aku inginkan menjadi imam dalam setiap sujud ibadahku. Orang yang selama ini aku tunggu agar aku bisa meng-aminkan setiap kalimah doa yang dia curahkan pada Tuhannya. Akhiii...semoga ibadah kita sempurna degan mengikuti perintah_Nya, dan sunnah Rosul-Nya. Ammiinn.



No comments:

Post a Comment